Thursday, April 26, 2007

Sejarah Tradisi Dongeng di Indonesia

Dongeng kakek buat Papinto Badut
Dongeng merupakan manifestasi sastra lisan dan disampaiakn turun temurun dari generasi ke generasi pada satu komunitas suatu masyarakat. Dongeng yang paling populer dalam komunitas masyarakat Jawa adalah dongeng si kancil seperti yang terpahat pada dinding candi Borobudur dan cerita fabel lainnya sesuai yang terekam pada pahatan/sclupture candi2 di Jawa Tengah (al. Candi Sojiwan, Mendut ). Saya sendiri mendapat dongeng pertama kali dari Ibu (Kisah bawang putih bawang merah) dan kemudian Kakek. Cerita si Senggutru yang disampaikan kakek, masih teringat sampai saat ini, walaupun cerita itu pertama kali saya nikmati sejak usia 6 tahun dan masih sering saya ceritakan pada anak anak. Saat ini, selaku berprofesi sebagai Pendongeng
selalu saja ada anak anak yang minta didongengin cerita2 lama itu dan selalu memikat hati anak2 walaupun telah berusia berabad-abad.

SEJARAH DONGENG DI INDONESIA
(RELIEF CANDI MENDONGENG FABEL)

Relief candi rupanya bukan sekadar bentuk karya seni tanpa arti. Di dalamnya tersimpan sejuta pesan, terutama soal pendidikan budi pekerti. Sebagai media komunikasi, pesan itu mudah dipahami pada zamannya, tepat sasaran, serta tidak menyinggung harga diri manusia. Sebab, biasanya diekspresikan dalam bentuk adegan cerita fabel.


Relief Candi Sojiwan: seekor burung diapit dua orang. Dikisahkan burung minta pertimbangan kepada pertapa tentang nasibnya yang kurang beruntung. Disarankan oleh sang pertapa agar burung jangan mengoceh yang bukan kodratnya, karena dapat berakibat buruk.
(Foto: Dok. TM Hari Lelono)

Dua ekor burung bangau menerbangkan seekor kura-kura menggunakan ranting. Sementara itu, di bagian bawah terlihat pemandangan anak-anak gembala dan pemburu dengan beberapa ekor kerbau sedang merumput. Para pemburu lengkap dengan busurnya sedang asyik bercengkerama sambil memandang ke angkasa.

Itulah salah sebuah adegan yang terlukis pada pahatan relief di tangga sisi kanan bangunan Buddhis Candi Mendut, Jawa Tengah. Masih terdapat pahatan lain yang juga menyuguhkan beberapa adegan cerita rakyat. Cerita kepiting dengan burung, gajah bersama tikus dan burung, monyet, harimau dan kambing, buaya dengan monyet, burung merak, dan burung berkepala dua.

Sangat jarang pelancong memperhatikan relung-relung relief yang menghiasi kaki bangunan candi berbahan batu andesit itu. Sering mereka hanya melewati begitu saja bangunan candi yang berdiri kokoh sejak kurang lebih 11 abad silam itu. Letaknya sekitar 2 km sebelum memasuki Candi Borobudur, di sisi kanan jalan raya dari arah Yogyakarta.


Malangnya nasib sang kura-kura tampil dalam relief di Candi Mendut.
(Foto: Dok. TM Hari Lelono)

Belajar dari kura-kura

Bila disimak baik-baik, satu per satu relief menyimpan makna pesan mendalam. Bahkan bisa menjadi sumber inspirasi bagi pemerhati dongeng bocah dan memuat pesan edukatif yang kental.

Adegan sangat indah itu mengingatkan pada dongeng anak-anak era tahun 1960 - 1970-an. Dongeng menjelang tidur, setelah seharian menghabiskan waktu untuk bermain jamuran, gobak sodor, benthik, engkling, bagi anak laki-laki. Atau seusai bermain pasaran, mantenan, dan cuthit bagi anak perempuan. Dongeng dan permainan itu mengandung pesan-pesan mulia: kerjasama, kepemimpinan, kejujuran, dan tanggung jawab.

Permainan dan dongeng itu kini tinggal kenangan. Tak lagi diakrabi oleh anak-anak generasi milenium "Saras 008" atau "Power Rangers", yang sering lebih menampilkan kekerasan dan sangat mudah ditiru oleh dunia anak-anak.

Pada adegan dongeng di pipi tangga Candi Mendut dikisahkan: Pada masa lalu para binatang yang hidup di Bumi menjalin persahabatan sangat akrab, termasuk di antaranya pasangan dua ekor bangau dengan seekor kura-kura yang hidup di sebuah telaga berlimpah air. Namun, ... ketenteraman itu terusik akibat terjadi perubahan iklim, dengan datangnya musim kemarau berkepanjangan. Akibatnya, air telaga segera mengering. Seluruh kehidupan yang di dalam dan sekitar telaga pun terancam.

Timbul kedukaan mendalam di hati bangau, terhadap nasib sahabatnya, sang kura-kura. Berkatalah Bangau, "Sahabatku, sebentar lagi akan datang bencana kekeringan, kita harus cepat-cepat mengungsi ke telaga yang lebih besar dengan air jernih melimpah. Danau itu tak jauh dari hutan ini. Berpeganglah pada ranting kering yang kami cengkeram berdua, gigitlah ranting itu pada bagian tengahnya. Tetapi ingat, selama perjalanan jangan menengok ke bawah atau mengucapkan sepatah kata pun, sebelum sampai tujuan."

Lalu, terbanglah mengangkasa ketiga sahabat itu melalui hutan, sungai, dan ladang. Di kejauhan tampak sekelompok anak gembala dan pemburu sedang beristirahat. Mereka melihat pemandangan sangat lucu. Maka, mereka pun bersorak kegirangan sambil mengolok-olok sang kura-kura, yang disebut seperti kotoran sapi kering sedang terbang. Mendengar olok-olok itu, si kura-kura pun marah dan hendak menjawab dengan membuka mulut. Akibatnya, ia pun terjatuh, lalu diperebutkan beramai-ramai untuk dimakan oleh sekelompok anak-anak itu.

Cerita itu mengandung banyak pesan, sifat mudah tersinggung dan marah, atau terpancing emosi dapat berakibat fatal, bahkan mencelakakan dirinya sendiri. Manusia hendaknya menjadi orang sabar dan rendah hati.

Dongeng semacam itu pernah masyhur pada masa klasik di Jawa. Pada masa kebudayaan Hindu dan Buddha ia digunakan sebagai sarana menyebarkan agama dan menanamkan pesan etika dan moral bagi umat manusia, lewat simbol-simbol yang dilambangkan dengan tokoh-tokoh binatang yang dikenal dengan cerita Tantri.

Relief Candi Mendut: seekor merak di atas pohon dengan ekor mekar. Merak tengah memaerkan kemolekan tubuhnya pada seluruh makhluk di hutan. Ini melambangkan suatu kelebihan yang dimiliki seseorang sering menjadi modal untuk sombong.
(Foto: Dok. TM Hari Lelono)

Sebagai media komunikasi

Sebagai media komunikasi, relief merupakan karya seni yang sekaligus memuat ide-ide seniman berkaitan dengan dogma dan nilai keagamaan, pedoman hidup, cinta kasih, juga pendidikan. Intisarinya adalah pesan kepada siapa pun.

Lewat ekspresi karya seni, para seniman menyampaikan pesan sangat penting dengan cara lebih mudah dipahami oleh masyarakat yang memiliki persamaan persepsi budaya. Sejalan dengan pernyataan itu, Kusen (1994) menyatakan, kedudukan seniman adalah komunikator yang tugasnya menuangkan pesan melalui karya seni. Sedangkan masyarakat bertindak sebagai komunikan atau sebagai konsumen seni yang diharapkan dapat menangkap pesan yang disampaikan para seniman melalui karya seninya.

Menurut Bambang Sulistyanto (2000), candi-candi di Jawa Tengah berkembang pada kurang lebih abad ke-8 sampai awal abad ke-10, dan dilanjutkan ke Jawa Timur abad ke-10 sampai ke-15 yang kemudian mengalami perubahan dalam pemahatan relief candi. Kenyataannya, pada pertengahan abad ke-10 M, seni pahat Jawa Timur berbeda secara mencolok dibandingkan dengan seni pahat Jawa Tengah. Di Jawa Tengah gaya seninya menunjukkan corak naturalis, di Jawa Timur menunjukkan corak dekoratif. Relief pada Candi Jago, misalnya, bentuk tokohnya berbeda dengan relief Candi Borobudur dan Prambanan. Yang pertama bentuknya agak kaku dan bergaya wayang purwa, sedangkan yang kedua bentuknya lebih plastis dan naturalistis.

Bangunan berupa candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan contoh candi yang memuat banyak ajaran moral dan etika bagi masyarakat Jawa kuno. Pada masanya sengaja dimanfaatkan para penguasa untuk menghindari konflik, perselisihan, dendam, serta untuk menanamkan saling pengertian. Sejumlah candi di Jawa Tengah, seperti Candi Mendut,

Relief Candi Mendut. Seekor kera di punggung buaya sebagai simbol persahabatan dua binatang yang berakhir tragis. Karena lapar, buaya tega menipu kera. Ia mengajak kera untuk mengambil hati di seberang sungai, tapi di tengah sungai kera dimakan buaya.
(Foto: Dok. TM Hari Lelono)

Prambanan, dan Sojiwan, mengusung pesan-pesan itu.

Sedangkan di Jawa Timur, terutama pada Candi Jago, Surowono, dan Penataran (Blitar), ada perbedaan. Media relief candi dimanfaatkan oleh sastrawan dan pengarang cerita serta dikembangkan dan dikemas dalam bentuk cerita rakyat (folklore), khususnya cerita fabel; cerita yang menggambarkan watak dan budi pekerti manusia dengan pelaku diperankan oleh binatang. Candi Surowono, misalnya, dikelilingi 61 buah panil relief, yang mengandung unsur cerita sebanyak 20 buah. Ada cerita fabel yang menggambarkan seekor katak dengan ular, singa dengan manusia, kancil di tengah ladang, burung belibis di pinggir kolam, dan kerbau dengan buaya di sungai.

Folklore dapat digunakan untuk menjembatani perbedaan adat dan budaya pada masing-masing sub-budaya yang ada. Selanjutnya, sebagai sarana untuk bisa saling mengenal satu sama lain, baik mengenai perbedaan dan persamaan adat istiadat, guna menejembatani perbedaan yang ada sehingga terjadi kesatuan.

Yang dimaksud folklore, menurut Danandjaja (1984), adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif apa saja secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat alat pembantu pengingat. Sementara menurut Wiliam R. Bascom, folklore mempunyai empat fungsi, yaitu (1) sebagai sistem proyeksi yakni sebagai alat pencermin angan-angan kolektif, (2) sebagai alat pranata dan lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidikan, (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat dipatuhi anggota kolektifnya.

Relief Candi Sojiwan. Sapi melawan harimau. Dikisahkan harimau sangat lemah badannya karena kelaparan. Sapi datang menolong untuk menunjukkan tempat makan. Setiba di tempat makan, harimau malah menerkam sapi. Terjadilah perkelahian seru, yang berakhir dengan kematian harimau ditanduk sapi. (Foto: Dok. TM Hari Lelono)

Binatang sebagai simbol

Panil pahatan pada dinding candi disengaja mempunyai makna. Tujuannya, agar pesan yang disampaikan dapat dengan mudah diingat dan dicerna. Menurut Herusatoto (1984), dalam konteks ini tentu konsumen harus mempunyai latar budaya yang sama dengan lukisan panil itu.

Simbol berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang. Bisa berupa lukisan, perkataan, warna, dan sebagainya. Semisal, warna putih menyimbolkan kesucian atau keharuman. Padi melambangkan kesuburan atau kemakmuran. Binatang kancil menyimbolkan kecerdikan, dan lain-lain.

Simbol dalam beberapa cerita Tantri sering menggunakan lambang-lambang binatang. Binatang dianggap berperilaku sama seperti manusia dengan bermacam karakter. Cerita binatang di Candi Mendut, umpamanya, ada yang terdapat dalam Kitab Pancatantra, Pali-Jataka. Dalam banyak cerita rakyat atau etnografi Jawa sering dijumpai cerita yang mengambil tokoh-tokoh binatang sebagai simbol yang memiliki karakteristik (beberapa contoh bisa dilihat pada Binatang dan Makna Simbolis).

Penggunaan binatang sebagai simbol watak dan tabiat manusia dilakukan karena karakter itu menghadirkan suasana santai, lucu, dan jenaka, sehingga tidak membuat orang tersinggung. Pesan moral dalam cerita binatang itu pun tepat mengenai sasaran, tanpa membuat manusia merasa dituduh (Dipodjojo, 1984).

Pahatan relief candi yang penuh muatan moral positif dan negatif, merupakan pesan masa lalu yang sampai sekarang masih dimengerti oleh sebagian generasi tua. Selain dapat dipelajari, materi itu juga bisa menjadi media yang tepat untuk menanamkan budi pekerti (pendidikan moral dan etika) lewat cerita rakyat dan dongeng bagi anak-anak. (T.M. Hari Lelono, Balai Arkeologi Yogyakarta)


No comments: