Wednesday, April 11, 2007

Hantu dan Anak-Anak

Mengapa Anak2 Amerika dan Juga Eropa, relatif tidak takut pada hantu? Kapan dan Dimana pesta Hallowen pertama kali diadakan?

I can't say when Halloween began in American culture but kids in our society
unless very small, are rarely afraid of masks and things. In our culture
they tend to see them as "pretend" and therefore, not very frightening.

Of course some like to be scared. I remember my son when he was very young
would put in the Disney Sleeping Beauty movie, then hide behind the couch
when the wicked witch was on. He wouldn't stop doing either thing. He liked
being somewhat scared or thrilled.

Some do have Halloween parties but others go masked and costumed trick or
treating door to door and don't have a party at all. Some party events might
be held in the home, by a city or at a church. My kids are getting older now
but they still love trick or treating best. Parties often include carnival
games with cheap prizes and blow up play areas.

You might find this source interesting:
_http://en.wikipedia .org/wiki/ Halloween_
(http://en.wikipedia .org/wiki/ Halloween)

Sincerely,
Stellar,
*******tory@aol.com - USA.



Kebangkitan Film Nasional
(gara gara ulah anak remaja...)
Oleh DWITIA YANUANTI

"KEMENANGAN arisan, merupakan tanda kemenangan bagi perfilman Indonesia," demikian ujar Sutradara Arisan Nia Dinata, saat menerima penghargaan Piala Citra 2004 untuk kategori Film Bioskop Terbaik.

Tak salah, jika Nia Dinata mendedikasikan kemenangan filmnya, untuk perfilman Indonesia. Munculnya film dari negeri sendiri selama kurang lebih empat tahun belakangan, mengindikasikan atmosfer yang menggembirakan. Kehadiran Festival Film Indonesia (FFI) yang sempat vakum dua belas tahun, dianggap sebagai tanda kebangkitan kembali era perfilman nasional. FFI diharapkan menjadi ajang tahunan, yang dapat mendorong perkembangan dan kemajuan dunia sineas kita.

Setelah film Petualangan Sherina hadir di layar lebar tahun 2000, beberapa film diproduksi oleh sineas muda kita. Film Ada Apa Dengan Cinta? (AADC?) yang booming, menjadi pionir film Indonesia bertema remaja dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini. Bahkan sinetron pun banyak yang mengikuti jejak AADC? Kemudian ada pula Jelangkung yang bertema horor.

Masyarakat yang sepertinya haus menonton film dari negeri sendiri, tampak antusias menyambut film-film lokal yang baru. Buktinya mereka rela mengantri panjang bahkan berdesak-desakan untuk membeli tiket nontonnya.

Melihat sambutan masyarakat yang sangat baik, membuat para sineas lokal, terutama yang muda-muda, berani membuat film. Dalam selisih waktu yang tidak terlalu lama, kita bisa melihat promosi film lokal yang akan ditayangkan di bioskop.

Menyaksikan industri film lokal kembali bergairah tentu satu hal yang positif. Sayangnya, kebiasaan atau lebih tepatnya budaya latah, menghinggapi para produser film kita. Mungkin mereka "kaget" setelah tertidur lama, sehingga ketika sebuah film bertema remaja booming di pasaran, production house (PH) lain pun mengikuti tema serupa. Lalu saat film bertema horor atau bercerita tentang mahasiswa, produser lain membuat film yang setipe.

Apakah ini pertanda kemajuan atau justru kemunduran perfilman Indonesia? Para kreator yang selalu melihat kemauan pasar untuk membuat film, bukankah menjadi terbelenggu kreativitas dan idealismenya? Tema yang seragam dari film baru tidak hanya membelenggu para seniman film, tapi juga menyempitkan cara pandang penontonnya.

Film sebagai media hiburan tentunya mempunyai pengaruh kuat terhadap audience-nya. Bila masyarakat disuguhi hal serupa, mereka secara tidak sadar dibuat menjadi tidak sadar akan keanekaragaman di negerinya sendiri. Ini jelas membodohi masyarakat kita.

Kini, ketika dunia film Indonesia kembali menemukan spiritnya, hendaknya dimanfaatkan oleh para insan film kita. Tunjukkanlah keanekaragaman sebagai salah satu kekayaan budaya kita. Indonesia bukan hanya Jakarta, tampilkanlah setting di luar Jakarta. Remaja tidak hanya ada di kota, ceritakanlah kehidupan remaja yang tinggal di desa atau di kampung.

Bukan cuma cinta yang yang menjadi persoalan hidup, banyak hal manusiawi lainnya yang pantas diangkat menjadi tema sebuah film. Bukan cuma orang yang cantik dan tampan yang menarik untuk diceritakan, orang jelek pun punya keistimewaan yang layak diungkapkan lewat film.

Indonesia kaya akan budaya, kaya dengan keanekaragaman. Kita bisa tunjukkan itu pada masyarakat sendiri maupun dunia internasional lewat bahasa film. Karena itu, kebangkitan film Indonesia sebaiknya menjadi tanda kebangkitan kreativitas anak bangsa. Bukan hanya kuantitas yang dipertimbangkan, tapi juga soal kualitas.

Banyak realitas pada masyarakat Indonesia yang heterogen, yang bisa ditonjolkan melalui seni layar lebar. Curahkanlah beragam kreativitas, inovasi, dan idealisme dalam media komunikasi yang sangat ampuh ini. Jangan biarkan pasar mendikte kreativitas para sineas kita, agar mereka mampu menyajikan tontonan bermutu dan menghibur. Untuk itu, perlu dukungan pemerintah dan apresiasi dari masyarakat.***

Penulis, mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad.
Sumber : www.pikiranrakyat.com

1 comment:

Dyahermanto said...

lanjutkan perjuangan papinto