Saturday, April 21, 2007

Pekerja Anak dan Korban Trafficking

Papinto Badut Juara Joget Lucu JTV Surabaya 2005
Menjadi MC dalam acara Lomba Menyanyi Anak Tingkat Jawa Timur di panggung WTC Surabaya merupakan pengalaman baru, disini aku bisa tampil sebagai MC dan berjoget selama 4 jam, walaupun usiaku sudah 40an. Ya tua tua gini aku ini juara joget lho. Dengan wajah Papinto ini, siapa yang dapat mengenali wajahku yang asli? Mejadi badut "yang lain" sudah merupakan semacam panggilan Tuhan bagiku...wah anak anak itu ada yang minta dan merengek Papanya untuk mendekati dan mencoba mengamati wajahku dari dekat, tapi kadang ada juga yang malah takut. Aneh juga anak2 in, manusia apa aku ini dalam benaknya. Contohnya si Areik (1 tahun) berani pegang2 hiasan buah topiku sambil kagum ko ada manusia coreng moreng begini. Laen lagi si Cristine (3 tahun) anak Tionghoa peserta lomba ini nampak lebih tua dari usia sebenarnya, ketika menyanyi dan menari begitu lincah dan atraktif. Si ibu yang membanggakan aktifitasnya yang seabrek, mulai lomba acting, lukis, les piano, keperagawatian cilik dll. Si ibu nampaknya berusaha untuk membuat Cristine mandiri lebih awal. Melihat si Cristine, aku jadi ingat kira2 13 tahun yang lalu, Joshua si anak ajaib yang sudah berprestasi dan bergelimang uang dari hasil rekaman menyanyi pada usia dini, kurang dari 4 tahun. Hal ini membuat para ortu di tanah air antusias dan berlomba lomba untuk mengharapkan anaknya mandiri lebih awal...meniru Joshua. Pemaksaan kerjakah? entahlah, tapi bila benar tentunya hal ini kurang baik pada pertumbuhan kepribadiannya, sebab usia anak memiliki fase2 tertentu dalam prosesnya tumbuh jadi dewasa. Papinto mengharapkan agar para ortu tidak memaksakan kehendak untuk menjadikan si kecil sebagai pekerja anak. Biarkan saja anak tumbuh wajar semestinya dan seimbang antara aktifitas bermain dan belajar.


Indonesia akan Hapus Pekerja Anak


Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menegaskan komitmennya untuk menghapuskan pekerja anak di seluruh Indonesia dan menggunakan pendidikan sebagai salah satu kunci penanggulangannya.

Siaran Pers Bersama Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas yang diterima di Jakarta, Minggu, menyebutkan, Bappenas akan memprakarsai penggunaan pendidikan sebagai salah satu kunci penanggulangan pekerja anak.

Sementara itu ILO menyebutkan, pekerja anak tidak hanya membahayakan hak anak-anak, namun juga memberi ongkos sosial yang besar.

Pekerja anak umumnya memiliki pendapatan yang kecil dan mengalami kemiskinan saat mereka dewasa. Anak-anak mereka (yang waktu anak-anak sudah bekerja) pun kemungkinan besar putus sekolah dan menjadi pekerja anak juga.

"Karenanya sangatlah penting memberikan anak-anak kesempatan mengenyam pendidikan yang berkualitas," kata Direktur ILO di Indonesia, Alan Boulton.

Menindaklanjuti pentingnya pendidikan, khususnya bagi keluarga miskin, dalam menanggulangi pekerja anak, ILO bekerja sama dengan Bappenas akan menggelar seminar nasional bertajuk Memerangi Pekerja Anak Melalui Pendidikan, di Gedung Bappenas Jakarta, pada Senin (27/6).

Seminar bertujuan mempertimbangkan berbagai perkembangan terbaru dalam kebijakan tentang pendidikan dan pekerja anak, serta mengidentifikasi kesempatan untuk mengangkat masalah pekerja anak ke dalam agenda-agenda pembangunan dan program-program pendidikan.

Berdasar Data Sensus Kesejahteraan Nasional (Susenas) tahun 2003, di Indonesia terdapat 1.502.600 anak berusia 10 hingga 14 tahun yang bekerja dan tidak bersekolah, sekitar 1.621.400 anak tidak bersekolah serta membantu di rumah atau melakukan hal lainnya.

Sebanyak 4.180.000 anak usia sekolah lanjutan pertama (13-15) atau 19 persen dari anak usia itu, tidak bersekolah.

Data Susenas juga menyebutkan insiden pekerja anak dan ketidakhadiran di sekolah terbilang tinggi di daerah pedesaan. Di perkotaan sekitar 90,34 persen anak-anak usia 10-14 tahun dilaporkan bersekolah, dibandingkan dengan 82,92 persen di pedesaan.

Untuk menanggulangi masalah itu, Indonesia telah mengembangkan Rencana Aksi Nasional untuk Menghapuskan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan untuk Anak.

Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi ILO 182 dan menyatakan komitmennya untuk mengambil tindakan segera menghapuskan pekerja anak. Sebagai tindak lanjut, dibentuk Komite Aksi Nasional untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan untuk Anak berdasar Keppres Nomor 12 tahun 2001 pada Januari 2001.

Pembentukan Komite itu diikuti dengan pendirian Rencana Aksi Nasional melalui Keppres Nomor 59 tahun 2002 tanggal 13 Agustus 2002 yang menegaskan kebutuhan untuk mencegah dan menghapuskan bentuk-bentuk terburuk pekerjaan untuk anak.
Sumber : (Ant/Cay)

Memperjuangkan UU Pemberantasan "Trafficking"
- Dari Pengalaman Perempuan

RANCANGAN Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang saat ini berada pada urutan kesembilan Program Legislasi Nasional di DPR. Rancangan ini merupakan inisiatif pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keppres RI Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak. Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri juga telah menerbitkan Amanat Presiden untuk mengajukan rancangan ini ke DPR.

PADA tanggal 7 Maret 2005 Komisi VIII DPR mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, Aisyah, Muslimat NU, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia dan Solidaritas Perempuan untuk memperoleh masukan dalam Pembahasan Penyusunan RUU tentang trafficking.

Tentu saja ada banyak hal yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut, terutama mengingat setidaknya sejak beberapa tahun terakhir sejumlah organisasi perempuan dan anak telah bekerja memerangi perdagangan orang (trafficking), termasuk mendorong lahirnya UU Anti Trafficking di Indonesia.

Terdapat beberapa hal kritis berkenaan dengan RUU yang ada saat ini, antara lain belum ada kejelasan posisi saksi korban, korban bukan saksi, dan saksi bukan korban untuk mendapatkan hak perlindungan korban dan saksi; belum diaturnya kekebalan korban dari penuntutan untuk perbuatan yang dilakukan selama proses perdagangan orang. Misalnya, bagaimana jika korban melakukan tindak kekerasan atau perusakan sebagai bentuk perlawanannya dari tindak kejahatan trafficking. RUU pun belum mengatur larangan atas pemeriksaan riwayat pribadi korban sebelum peristiwa-peristiwa yang berujung pada perdagangan.

RUU ini juga belum menegaskan perlindungan bagi korban secara komprehensif, termasuk tempat tinggal, layanan konseling, informasi tentang hukum, bantuan material, kesempatan kerja, pendidikan dan pelatihan, hingga kerahasiaan identitas; belum mengatur kemungkinan korban memperoleh status penduduk sementara di Indonesia sehingga tidak menghalangi korban dalam memperoleh kompensasi melalui pengadilan; dan belum mengatur jaminan bahwa korban yang diperdagangkan ke Indonesia hanya dapat dipulangkan secara sukarela, termasuk mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan atau dokumen akibat trafficking.

Selain itu, RUU ini belum membuat ketentuan khusus untuk korban anak dan belum jelas pasal pemidanaan terhadap sindikat trafficking yang berkedok badan hukum tertentu.

Mendesak

Sejumlah hal di atas sesungguhnya menunjukkan kompleksitas persoalan perdagangan manusia dan karenanya semakin mendesak untuk diatur dalam suatu UU.

Data Komnas Perlindungan Anak (Maret 2005) menunjukkan, angka penjualan anak balita yang melibatkan sindikat internasional menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2003 ada 102 kasus yang terbongkar, tahun 2004 bertambah menjadi 192 kasus. Jumlah anak korban trafficking untuk tujuan prostitusi meningkat, dari berbagai rumah bordil di Indonesia, 30 persen atau sekitar 200.000-300.000 perempuan yang dilacurkan adalah anak-anak.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan, pada tahun 2004 teridentifikasi 14.020 kasus kekerasan terhadap perempuan (meningkat dari tahun 2003, yaitu sebesar 7.787 kasus). Dari angka ini, 562 merupakan kasus trafficking.

Di lapangan, pengalaman bekerja dalam isu trafficking mengantarkan saya pada fakta bahwa persoalan ini tidak semudah yang kita bayangkan. Di tingkat pencegahan, trafficking berkaitan erat dengan beberapa faktor, mulai dari kemiskinan yang mencekik, rendahnya tingkat pendidikan, hingga budaya yang mengobyekkan anak dan perempuan, seperti menganggap anak adalah "milik" orangtua atau bahwa anak perempuan adalah obyek seksual yang bernilai ekonomis.

Di tingkat penanganan kasus, sejumlah kerumitan kembali ditemui. Sebagai contoh, sebagian aparat penegak hukum dan aparat pemerintah sering mempertanyakan mengenai persetujuan korban trafficking. Salah seorang peserta lokakarya pernah mengatakan, "Bagaimana ya, Bu. Kalau dia sendiri (korbannya) mau, lantas kita mau apa?"

Hal lain, sebagian aparat penegak hukum dan aparat pemerintah mempertanyakan mengenai "kedewasaan" korban. Seorang peserta pernah mengatakan kepada saya, "Ya, meskipun umur si korban di bawah 18 tahun, tetapi kalau sudah tahu ’gituan’', sudah kawin, berarti sudah bukan anak-anak lagi dong."

Ada pula aparat penegak hukum, aparat pemerintah, dan anggota masyarakat yang masih menggunakan standar moralitas yang bias dalam memandang persoalan trafficking. Sebagai contoh, kenyataan korban pernah melakukan hubungan seksual sebelumnya (tidak "perawan"/tidak "gadis") umumnya dijadikan standar moral bahwa perempuan tersebut bukan perempuan "baik-baik" dan dengan demikian kasusnya dicurigai bukan trafficking.

Mengenai perlindungan dan pemulihan korban hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang menjamin perlindungan dan pemulihan pada korban trafficking.

Implikasi kondisi ini mengerucut pada ketidakadilan dan pengabaian hak-hak korban. Ironisnya, persoalan ini juga berimplikasi pada kemungkinan terjadinya kriminalisasi terhadap korban sehingga kondisi yang dialami korban adalah menjadi "pelaku" atas penderitaan yang dialaminya. Ini pula yang sering mengakibatkan korban cenderung takut melaporkan kasusnya jika mereka dengan susah payah berhasil lepas dari sindikat trafficking.

Kelemahan hukum

Mengingat pengalaman di atas, proses pembuatan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang seyogianya memerhatikan: pertama, kemendesakan lahirnya UU ini terkait dengan lemahnya instrumen hukum nasional yang dimiliki Indonesia untuk menangkap kompleksitas persoalan trafficking, sementara korban terus berjatuhan. Meskipun sejak lahirnya UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mengenai penjualan anak dan pemaksaan hubungan seksual terhadap anak untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu lainnya telah diatur, tetap saja belum mampu menangkap kompleksitas persoalan trafficking. Apalagi bila hanya menggunakan Pasal 297 KUHP.

Pemerintah Indonesia pada 12 Desember 2000 telah menandatangani Protokol untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak. Protokol yang kemudian lebih populer disebut Palermo Protocol ini setidaknya menjadi salah satu instrumen hukum internasional yang mampu menangkap kompleksitas persoalan trafficking.

Sudah semestinya semangat protokol ini mewarnai secara utuh UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang sedang digodok. Sebagai contoh, pasal 3 protokol ini (mengenai definisi) menekankan: diabaikannya persetujuan dari korban; adanya pengakuan pada korban dan dengan demikian kepada korban dilekatkan sejumlah hak yang wajib dipenuhi negara; serta adanya pengakuan pada kerentanan anak terhadap trafficking dan dengan demikian kepada anak wajib diberikan perlakukan khusus.

Semangat dan substansi UU ini semestinya diletakkan dalam kerangka perlindungan dan penegakan hak-hak korban, khususnya perempuan dan anak. Cara pandang yang keliru dalam melihat persoalan harus diluruskan sehingga tidak mereduksi makna sesungguhnya penghapusan trafficking, apalagi hanya menjadi persoalan moralitas semu.

Untuk itu, jelas trafficking mesti dikembalikan pada persoalan pelanggaran HAM, khususnya perempuan dan anak. Kepada korban dilekatkan sejumlah hak, termasuk tempat tinggal, layanan konseling, medis, informasi tentang hukum, bantuan material, kesempatan kerja, pendidikan dan pelatihan, hingga kerahasiaan identitas.

Adalah kewajiban negara untuk memastikan dilakukannya langkah dan tindakan yang tepat dalam melakukan pencegahan, pembuatan peraturan perundang-undangan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan pada korban. Untuk itu, posisi negara (pemerintah) sebagai pemangku kewajiban dalam melindungi perempuan dan anak dari trafficking haruslah termaktub dengan tegas dalam UU ini.

R Valentina Sagala Aktivis Feminis, Direktur Eksekutif Institut Perempuan, Bandung
Sumber : www.kompas.co.id

No comments: