Thursday, June 21, 2007

UNAS, Persiapan Medan Tempur Buat Persaingan Global


Papinto Setuju UNAS
Gegap gempita medan tempur UNAS (Ujian Nasional) usai sudah. UNAS ini dimaksudkan untuk memperbaiki kwalitas mutu pendidikan secara menyeluruh baik di tingkat pusat maupun daerah, dengan kadar kesulitan materi soal ujian yang layak disejajarkan dengan tingkat kesulitan soal ujian dari negara2 ASEAN (Singapura dan Malaysia). Saat ini Indonesia mematok nilai minimal 5 baru lulus, sedangkan Singapura sudah setingkat nilai 7. Jadi nilai patokan kita relatif lebih rendah. Untuk pelaksanaan ujian kedepan Indonesia akan terus meningkatkan grade-nya minimal setara Singapura. Untuk apa? agar kelak anak didik mampu bersaing di tingkat global dalam perebutan "kue pekerjaan" di era kesejagadan. Lantas kok masih ada ya pihak2 yang menolak UNAS, alasannya bahwa hanya guru sekolah yang bersangkutan yang mampu menilai anak didik lulus atau tidak? saya kira mereka keliru besar, sebab bila kelulusa n ditentukan oleh para guru sekolah yang bersangkutan dimungkinkan nanti nilai itu dapat bersifat NILAI EMOSIONAL, maksudnya? ya bisa saja yang kaya atau yang cantik akan dapat mempengaruhi obyektifitas pak guru hanya dengan "satu kerlingan mata", tahukan maksudnya? Bila dikaji secara fair, nilai UNAS inikan merupakan NILAI RIIL yang dihitung scorenya dengan MESIN, sedang NILAI SEKOLAH bisa jadi merupakan NILAI EMOSIONAL karena yang menghitung adalah TANGAN PAK GURU. Bagaimana pendapat anda?


Pemerintah Wajib Memfasilitasi
Keputusan pemerintah mengadakan ujian kesetaraan sebagai pilihan bagi siswa yang tidak lulus unas diibaratkan sebagai sekoci bagi penumpang kapal. Berikut petikan wawancara Jawa Pos dengan anggota Komisi X dari Fraksi PAN Munawar Sholeh.

Bagaimana Anda melihat adanya ujian kesetaraan?
Ujian kesetaraan itu hanya sekoci. Bisa dimanfaatkan, bisa juga tidak. Itu menjadi hak siswa untuk menentukan, apakah akan menggunakannya atau tidak. Tapi, satu hal yang pasti, karena ini kewajiban, pemerintah wajib memfasilitasi dan menyediakan anggarannya.

Lalu, bagaimana soal ijazah kesetaraan yang diterima, padahal dia menuntut ilmu dalam pendidikan formal?
Ya, itu risikonya. Sekoci kan kecil. Jadi. peluang untuk basah juga besar. Ini konsekuensi pilihan. Meski begitu, fungsinya kan tetap sama. Bisa digunakan untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi jenjangnya atau untuk melamar pekerjaan. Tidak berkurang esensi ijazahnya.

Apakah tidak ada mekanisme lain?
Kami (DPR, Red) sebenarnya pernah mengusulkan pada pemerintah agar ada ujian ulangan jika salah satu di antara tiga mata pelajaran yang diujikan bernilai jelek. Dengan mark-up misalnya. Namun pemerintah tetap pada keputusannya untuk tidak ada (ujian ulang). Maka, peserta didik diberi kelonggaran dengan adanya ujian kesetaraan itu.

Haruskah menunggu satu tahun untuk mengulang unas?
Kalau untuk unas formal, memang tetap satu tahun sekali. Sebab, jika diadakan setengah tahun sekali, terlalu cepat evaluasinya. Tetapi, kalau kesetaraan kan tidak. Bahkan, ujiannya tiga bulan sekali.

Ada efek positifnya?
Tentu saja. Dalam raker dengan Mendiknas beberapa waktu lalu juga dipaparkan bahwa saat ini, ada beberapa perguruan tinggi yang membuka penerimaan mahasiswa baru tidak hanya pada semester ganjil. Artinya apa? Siswa yang mengikuti ujian kesetaraan pun bisa langsung melanjutkan ke perguruan tinggi tanpa menunggu tahun akademik baru atau menunggu semester ganjil. (fal)


Mencermati Pelaksanaan Ujian Kesetaraan
Pintu Keluar bagi Yang Gagal Unas Pilihan mengikuti ujian kesetaraan yang diberikan pemerintah kepada siswa yang tidak lulus ujian nasional (unas) ternyata tidak terlalu memuaskan siswa. Padahal, pemerintah menjamin, siswa yang lulus ujian kesetaraan tetap memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan di jenjang yang lebih tinggi.

Mei lalu mungkin menjadi hari yang cukup membahagiakan bagi Melati Murti Pertiwi. Bagaimana tidak? Bersama dengan Sophia Latjuba, Happy Salma, Olga Lydia, Roy Jeconiah, Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika, Gerakan Siswa Bersatu, Suara Hati Pelajar, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, Federasi Guru Independen Indonesia, LBH Pendidikan, dan LBH Jakarta memenangkan gugatan terhadap pemerintah terkait kebijakannya dalam penyelenggaraan unas.

Dalam putusannya, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa pemerintah sebagai tergugat telah lalai memenuhi hak pendidikan warga negara. Para tergugat yang terdiri atas presiden, wakil presiden, menteri pendidikan nasional, dan ketua Badan Standardisasi Pendidikan Nasional dinilai lalai memenuhi perlindungan HAM terhadap warga negara. Terutama hak-hak pendidikan yang tidak didapatkan siswa yang gagal menempuh unas.

Para tergugat itu juga dinyatakan telah merugikan hak subjektif para siswa yang tidak lulus unas. Mereka juga digugat telah menyebabkan siswa mengalami kerugian materiil dan imateriil berupa hilangnya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

Namun, keputusan itu tidak serta merta membahagiakan Melati sepenuhnya. Meski dinyatakan lulus setelah mengikuti ujian kesetaraan paket C (setara SMA), ada kebanggaan yang hilang meski telah mengantongi ijazah. Ujian kesetaraan itulah penyebabnya. "Kami kan belajar tiga tahun di sekolah negeri. Masak lulus dengan ijazah pendidikan paket C," katanya ketika itu.

Meski kini sudah duduk di bangku kuliah seperti halnya teman-temannya yang lulus unas, Melati mengatakan masih merasakan perbedaan atas ketidaklulusannya dalam unas. "Sama teman-teman kuliah menjadi kurang dekat. Kemungkinan karena dianggap gagal ujian," ujar mahasiswi semester II Jurusan Psikologi Universitas Atmajaya itu.

Hilangnya kebanggaan atas almamater yang selama tiga tahun menjadi tempat menuntut ilmu itu mungkin tidak hanya dialami Melati seorang. Namun, pilihan yang tidak terlalu menguntungkan, menjadikannya merelakan sirnanya kebanggaan itu. Ya, pilihan bagi siswa yang tidak lulus unas hanya dua. Pertama, mengikuti ujian paket (kesetaraan). Kedua, menunggu hingga tahun depan untuk mengikuti unas. Tentu yang pertama menjadi pilihan paling banyak bagi mereka yang tidak ingin mengorbankan masa satu tahun untuk menunggu unas.

Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Jakarta Utomo Dananjaya mengatakan, sejak awal dirinya keberatan jika unas dianggap sebagai faktor penentu kelulusan. Sebab, pelaksanaan unas mengabaikan kepentingan anak dan lebih bersifat politis. "Pendapat saya, ini sama dengan yang diputuskan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Seharusnya nasib anak-anak menjadi tanggung jawab pemerintah," katanya.

Demikian juga ujian kesetaraan, menurut dia, jika unas dijadikan penentu kelulusan seharusnya disertai dengan mekanisme ujian ulang. "Logikanya kan seperti sarjana atau master yang ujian ulang dan tidak perlu menunggu setahun," ungkapnya. Kesempatan mengulang itu bisa dilakukan sampai tiga kali atau setidaknya sebelum Agustus, waktu masuk ke perguruan tinggi.

Meski ada tantangan dari berbagai pihak soal unas dan ujian kesetaraan, tahun ini pemerintah kembali mengadakan ujian kesetaraan. Ujian kesetaraan paket C berakhir hari ini setelah berlangsung sejak Selasa (19/6) lalu. Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo bahkan mengimbau secara langsung kepada para siswa SMA/MA/SMK yang tidak lulus ujian nasional (UN) agar mengikuti ujian kesetaraan.

Pemerintah juga menjamin, siswa yang mengikuti ujian kesetaraan dan dinyatakan lulus, memiliki hak eligibilitas atau hak memperoleh hasil dan kesempatan belajar yang sama atau setara dengan pendidikan formal. "Termasuk hak untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi," tegas Bambang Sudibyo, yang guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Tidak hanya status kelulusan yang dijamin akan setara dengan lulusan pendidikan formal. Bahkan, untuk kualitas ujian, pemerintah juga menyamakan. Direktur Pendidikan Kesetaraan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas Ella Yulaelawati, mengatakan, kualitas soal ujian kesetaraan memiliki standar yang sama dengan unas pada pendidikan formal.

"Demikian pula, nilai dan persyaratan kelulusan ujian kesetaraan tidak jauh berbeda dengan pendidikan formal," ujar Ella.

"Unas paket C atau setara SMA juga tidak dipungut biaya. Dengan demikian, siswa dari pendidikan formal bisa mendaftar langsung ke Dinas Pendidikan di daerahnya."

Dia menjelaskan, kelulusannya terdapat dua alternatif. Pertama, siswa harus meraih nilai rata-rata 5,00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan tidak ada nilai di bawah 4,25. Alternatif kedua, siswa memiliki nilai rata-rata minimal 5,33 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, apabila salah satu mata pelajaran yang diujikan bernilai 4,00 dan tidak ada mata pelajaran yang bernilai di bawah 4,00.

Adapun mata pelajaran yang diujikan dalam paket C untuk IPS, yakni kewarganegaraan, tata negara, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Paket C untuk IPA, yaitu kimia, fisika, geologi, dan matematika.

Ella mengungkapkan, pelaksanaan ujian kesetaraan memang agak berbeda dengan ujian nasional pada pendidikan formal. Di antaranya adalah pelaksanaannya yang dilakukan dua kali dalam satu tahun. Hal itu dimaksudkan sebagai langkah akomodatif bagi peserta yang berlatar belakang heterogen, baik dari sisi usia maupun pekerjaan. (naufal widi a.r)

Masih Jadi Prioritas Pilihan
Siswa yang tidak lulus unas mendapatkan dua pilihan. Pertama, siswa tersebut mengulang mengikuti ujian nasional tahun depan. Itu diikuti hanya pada mata pelajaran yang gagal. Dengan catatan, siswa yang bersangkutan tidak memiliki permasalahan dengan proses pembelajaran yang lain.

Kedua, siswa yang tidak lulus bisa dinyatakan lulus dengan mengikuti ujian kesetaraan atau dikenal dengan ujian paket. Ujian tersebut diadakan untuk tiga jenjang yang berbeda, yaitu paket A setara SD, paket B setara SMP, dan C untuk SMA.

Dengan dua opsi tersebut, pilihan kedua, yaitu mengikuti ujian paket, lebih diminati siswa. Hal itu diakui Suharsono, sekretaris Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). "Pelaksanaan ujian paket C yang lalu juga banyak peminatnya," kata Suharsono.

Salah satu alasannya adalah biaya yang relatif lebih murah. Bahkan, siswa dari pendidikan formal SMA bisa dengan gratis mengikuti ujian kesetaraan itu.

Yang memilih mengulang tahun depan, kata dia, menganggap bahwa ijazah hasil unas lebih bergengsi dibandingkan ujian kesetaraan. "Ada yang menganggap ijazah unas lebih bergengsi daripada ijazah kesetaraan," lanjutnya.

Padahal, jelaskan dia, perbedaan ijazah tidak menjadi soal. Misalnya, ijazah paket A bisa untuk mendaftar ke SMP, ijazah paket B untuk mendaftar SMA, dan paket C untuk mendaftar ke perguruan tinggi. Bahkan, jika ingin langsung bekerja, ijazah paket C juga diterima perusahaan.

Pernyataan Suharsono terbukti. Kepala Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Depdiknas yang juga penyelenggara ujian kesetaraan, Burhanuddin Tolla, mengatakan, jumlah peserta ujian kesetaraan dari jalur nonformal yang terdaftar mencapai 364.984 orang. Jumlah ujian kesetaraan itu meliputi paket A 38.209 orang, paket B 156.169, dan paket C 170.609. (fal)
Sumber : www.jawapos.co.id




No comments: