Tuesday, May 8, 2007

Anak-anak, Sex dan Aborsi

Papinto Badut terkesima, masih anak-anak kok hamil.
Lilis (15 tahun) sedang hamil muda, posturnya yang masih anak-anak serta wajahnya yang manis, kurus dan tiris dengan perut buncit membuat orang bertanya tanya masih anak2 kok hamil?. Kehamilan yang menginjak usia 3 bulan ini membuat ia sering mual dan muntah2 dan mulai mengidam makanan buah tertentu, karena tak punya uang, maka ia menghampiri Papinto sambil berkata " Papinto, tolong minta buah blimbingnya dong!", lalu aku turuti kehendaknya kerna merasa iba sebab kehamilan yang ke-2 ini ia ditinggalkan lagi oleh sang suami sirinya yang masih cukup muda juga usianya, 20 tahunan yang hanya tamat SMP. Lilis hanya mengenyam pendidikan SD, sedangkan ke SMP tiada lagi biaya. Ibunya yang penjual rujak manis diemperan rumah kontrakannya tak lagi mampu membiayai sekolahnya. Konon ayah Lilis pergi jadi TKI, tapi tak ada kabar beritanya hingga kini. Jadilah ia anak remaja yang kawin terpaksa karena keadaan dan keterpaksaan. Seharusnya-seandainya ia tahu manfaat KB- ia lebih baik ber-KB saja, untuk mencegah kehamilan yang tak dikehendaki, tapi entah karena kurangnya pengetahuan dan kemiskinan, ia tak melakukannya. Saya sempat dengar bahwa ia akan menggugurkan kandungan, tapi terlambat karena kandunganya kadung besar. Berapa kira-kira jumlah gadis remaja Indonesia mengalami peristiwa seperti Lilis?

60% Aborsi oleh Remaja
(Seksolog dan androlog, Prof Dr dr Wimpie Pangkahila Sp And FAACS di sela-sela Kongres Nasional I Asosiasi Seksologi Indonesia, Minggu (20/7/ 2002).

Sebanyak 60 persen aborsi yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh remaja. Angka yang sedemikian tinggi ini bisa menjadi indikasi adanya perubahan persepsi remaja terhadap masalah seks. Di sisi lain, pengetahuan remaja tentang masalah seks ternyata belum maju dengan masih banyaknya salah pengertian dan masih dipercayanya beberapa mitos.

Wimpie dalam penjelasannya menandaskan, "Persoalan aborsi remaja di Indonesia itu jika dibandingkan dengan salah satu negara bagian saja di AS, sudah lebih gawat." Namun, dia mengakui bahwa dia belum mendapat data pembanding yang riil.

"Di Indonesia ada 2,5 juta aborsi, di mana 1,5 juta di antaranya adalah aborsi yang dilakukan remaja. Kalau aborsi dilakukan oleh seorang istri ada alasannya, seperti alasan kesehatan atau kegagalan program Keluarga Berencana," ujarnya.

Setelah soal PACARAN, Kini Masanya "Making Love"

UNTUK menggambarkan betapa sulitnya "menjaga" anak perempuan, digambarkan oleh seorang guru yang juga ibu asrama. Katanya, dia lebih senang diserahi tugas mengurus berpuluh-puluh kambing daripada seorang anak perempuan.

Alasannya, kalau kambing betina bunting itu berarti keuntungan karena jumlahnya bakal bertambah. Sebaliknya dengan anak perempuan yang hamil di luar nikah, bisa berarti "urusan berat" seumur hidup.

Cerita dalam sinetron Pernikahan Dini pun memberi gambaran betapa peliknya kehidupan, bila seorang gadis remaja hamil dan terpaksa menikah sebelum waktunya. Dia sendiri tidak siap, keluarganya pun turut terbawa dalam suasana yang serba amburadul. Si ibu dan ayah bertentangan pendapat, si kakak lelaki cenderung marah sekaligus jatuh iba pada nasib si adik.

Sementara Dini, si gadis hamil yang diperankan Agnes Monica terjebak antara perannya sebagai remaja yang ingin bergaul, tanggung jawab sebagai ibu, rasa bersalah, dan ketidaksiapan diri menghadapi semua perubahan yang dirasakannya datang begitu mendadak.

Dini dalam Pernikahan Dini tidak sendirian. Retno Kusrini, psikolog dari Klinik Griya Sahari yang antara lain mengurusi kesehatan reproduksi mengatakan, tahun 1980-an awal dia banyak menangani para remaja putri yang berkonsultasi soal bagaimana mendapat pacar, atau gundah karena putus cinta. Namun, belakangan ini, sebagian remaja itu ingin bertanya lebih jauh masalah ML (singkatan dari Making Love–berhubungan seks).

"Hampir semua remaja yang datang berkonsultasi menanyakan soal ML. Ini bisa menjadi salah satu pertanda bahwa semakin banyak remaja yang telah melakukan hubungan seks sebelum menikah," kata Rini, nama panggilannya.

Psikolog lainnya yang kerap menangani masalah reproduksi, Ninuk Widyantoro, menambahkan, apa pun alasan mereka melakukan hubungan intim, namun fakta menunjukkan kehamilan di luar nikah biasanya baru menjadi masalah keluarga setelah yang bersangkutan terlambat menstruasi lebih dari dua bulan.

"Lebih repot lagi kalau yang bersangkutan sudah berusaha dengan berbagai cara minum ramuan atau ke dukun segala. Selain harus mempersiapkan dia menjadi ibu sekaligus bisa tetap sekolah, kita juga mesti berhadapan dengan kemungkinan si bayi lahir cacat," ujar Ninuk.

SULIT atau bahkan amat mungkin tak ada angka yang menunjukkan berapa banyak perempuan–terutama remaja–yang hamil di luar nikah. Bagaimanapun sebagian besar masyarakat menganggap hamil di luar nikah sebagai aib keluarga yang sebisa mungkin disembunyikan serapat-rapatnya.

Bahkan, seorang perempuan berusia 20-an tahun, sebut saja namanya Arni, yang hamil di luar nikah langsung "dikucilkan" oleh keluarganya. Keluarga Arni yang tinggal di daerah padat di Jakarta, suatu hari merasa amat terhenyak begitu Arni mengaku bahwa dirinya telah hamil dengan pria tetangganya, orang yang di lingkungan itu dikenal sebagai pria pengangguran yang suka membual. Kehamilan Arni tak mungkin digugurkan, karena usianya sudah sekitar empat-lima bulan. Untuk menikahkan dia dengan pria tetangganya pun keluarga Arni keberatan, sebab si pria dinilai tidak bisa bertanggung jawab. Mereka khawatir pernikahan justru akan membuat keluarga terbelit masalah yang semakin rumit. Mereka juga merasa keberatan membiarkan Arni tinggal di rumah saja. Alasannya klasik, malu kepada para tetangga. Padahal, di belakang "punggung" keluarga itu, amat mungkin sebagian tetangga sudah tahu kondisi Arni dan menjadikannya bahan pembicaraan. Rapat keluarga besar pun lalu digelar, karena keluarga inti saling beradu argumentasi tanpa mampu menghasilkan jalan keluar bagi kehamilan Arni. Hasilnya, Arni akan tinggal di rumah salah satu kerabatnya di Yogyakarta sampai dia melahirkan. Apakah dia akan memelihara bayinya, atau menyerahkannya kepada pihak lain akan dipikirkan kemudian.

Atas keputusan keluarganya itu, Arni tak bisa berbuat apa-apa. Perempuan itu tidak menjawab ketika ditanya apa sebetulnya keinginannya sendiri. Dia bahkan tidak tahu apa yang akan dilakukannya dengan si bayi. Dia hanya mengatakan, merasa bersalah karena telah merepotkan semua orang.

Hal yang sama juga dialami Indah, bukan nama sebenarnya. Dia hamil dengan pacarnya Riva. Kakak lelakinya, Tono, mengaku amat marah dan sempat terpikir keinginan membunuh Riva. "Saya sudah berkali-kali memperingatkan Wina agar tidak pacaran dengan Riva, karena dia sudah punya istri dan anak pula," ujar Tono. Hubungan Tono dengan Wina cukup dekat. Oleh karena itulah, ketika tahu dirinya hamil, Tono adalah orang pertama yang diberitahu Wina. "Kalau sudah berani begitu, artinya dia sudah dewasa. Saya sudah berusaha memperingatkannya, tetapi dia nekat memilih Riva. Maka, dia harus berani menghadapi kenyataan dan bertanggung jawab pada kehamilannya," cetus Tono. Namun, orangtua mereka tak tega melihat Wina kebingungan. Mereka membawa Wina ke luar kota, dan bercerita kepada para tetangga bahwa Wina sudah menikah. Setelah bayinya lahir, Wina kembali menjalani aktivitasnya, sementara si bayi diasuh orangtuanya.

BAIK Ninuk maupun Rini mengatakan, tahap menerima kenyataan bahwa salah satu anggota keluarga mereka hamil di luar nikah, merupakan hal yang paling sulit. Untuk mengatasi hal itu, tak ada rumusan baku karena kondisi keluarga maupun perempuan muda yang hamil di luar nikah amat berbeda-beda.

"Biarpun sama-sama hamil di luar nikah, tetapi kondisi mereka berbeda-beda. Makanya penanganannya pun harus individual. Ada keluarga yang mudah didamaikan, artinya tidak perlu saling menyalahkan dan bertengkar, lebih baik mencari jalan keluar. Tetapi ada juga yang sampai memerlukan bantuan konselor, entah itu psikolog, penasihat spiritual, atau anggota keluarga lain yang disegani," tutur Ninuk.

Bagi si remaja yang hamil di luar nikah, menurut Ninuk, salah satu hal penting yang mesti dilakukan adalah menghindarkannya dari trauma. Artinya, meski dia dinilai berbuat kesalahan, tetapi jangan sampai membuatnya didera rasa bersalah berkepanjangan. "Kalau lingkungan begitu memojokkan dia, tak jarang yang bersangkutan jadi trauma. Kepribadiannya berubah, dia jadi menutup diri, tidak mau bergaul. Ini kan kontra-produktif," ujarnya.

Dari pengalamannya, Ninuk mengatakan, sebagian besar mereka yang hamil di luar nikah paham bahwa hal itu melanggar norma, mencoreng nama baik keluarga, sampai mempermalukan diri sendiri. Namun di sisi lain, mereka juga tidak punya bekal cukup tentang pengetahuan fisik dan kejiwaan yang tengah mereka alami.

"Untuk menghadapi kasus hamil di luar nikah atau kehamilan yang tidak diharapkan ini, konselor harus berkejaran dengan waktu. Usia kehamilan terus bertambah, sementara kita perlu mempersiapkan yang bersangkutan, keluarganya, sekaligus mengorek keterangan apa saja yang telah dia lakukan begitu tahu dirinya hamil," cerita Ninuk.

Hal yang terakhir itu penting untuk menentukan langkah terbaik yang mesti dilakukan. Misalnya, menentukan usia dan kondisi kehamilan. Kalau yang bersangkutan sudah mencoba berbagai hal untuk menggugurkan kandungannya, berarti ada kemungkinan hal itu akan mempengaruhi kualitas bayinya. Jalan keluarnya bisa beragam, kalau usia kandungan masih dini bisa dilakukan aborsi yang aman, atau mempersiapkan yang bersangkutan kemungkinan hadirnya anggota keluarga yang cacat.

Rini menambahkan, setelah bisa menerima kenyataan, orangtua sering kali akan mengambil alih tanggung jawab memelihara bayi. Mereka ingin si anak bisa terus bersekolah, dan meneruskan aktivitas lain sesuai usianya. "Tindakan seperti ini buat anak yang sudah dewasa, mungkin dia bisa mengambil hikmahnya. Tetapi buat anak yang masih berpikiran remaja, akan membuatnya tidak pernah belajar menjadi dewasa, menjadi orang yang bertanggung jawab pada perbuatannya."

Menurut Rini, dengan membiarkan si anak sendiri yang mengurus bayinya, sedang orangtua mendampingi dan mengawasi, akan membuat si anak belajar bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. "Kalau tanggung jawab itu diambil alih, dia akan merasa jadi anak ABG (anak barugede) terus-menerus. Bahkan, bisa jadi dia hamil lagi," Rini menandaskan.

Tanggung jawab harus diajarkan sejak dia masih hamil. Misalnya, bagaimana dia harus rajin memeriksakan kandungannya ke dokter, mengonsumsi makanan bergizi, dan membesarkan bayinya mulai dari memikirkan soal pakaian, makanan, sampai pendidikannya nanti.

"Bisa dikatakan setiap perempuan itu punya naluri sebagai ibu. Jika orangtua tidak mendorong si anak menumbuhkan nalurinya sebagai ibu, maka anak itu tidak akan bisa menjadi ibu dari bayinya," cetus Rini.

Dilema yang dari tahun 1980-an hingga kini masih terjadi adalah kondisi di mana orangtua "membuang" si anak yang hamil di luar nikah, sementara kehamilan itu sendiri tidak mungkin digugurkan.

"Pemerintah melarang aborsi, tetapi tidak memberikan fasilitas bagi perempuan yang mengalami kehamilan tak dikehendaki. Padahal, kondisi yang bersangkutan saat itu biasanya stres berat. Dia harus menanggung kehamilan sekaligus dibuang keluarga. Ke mana dia harus pergi? Situasi ini jadi sangat menyedihkan bagi sang ibu dan janin yang dikandungnya," tutur Rini.

Oleh karena itu, jika ada anggota keluarga yang hamil di luar nikah, sebaiknya semua orang yang dekat dengannya bisa berpikiran jernih, dan tidak mengedepankan emosi. Dengan demikian, apa pun keputusan yang diambil merupakan hal terbaik yang bisa dilakukan. Hal ini perlu, agar orangtua maupun yang bersangkutan tidak menyesal di kemudian hari.

"Jangan pernah orangtua mencela atau membicarakan keluarga lain yang tengah mengalami anggota keluarganya hamil di luar nikah. Oleh karena, kejadian itu bisa terjadi pula pada dirinya. Saya amati, kejadian seperti itu makin hari kok semakin banyak ya," ujar Rini. Nah lho…. Sumber www.kompas.com
(ARN/CP)

Aborsi dan alasannya.

Aborsi adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin sepenuhnya berkembang dan dapat hidup di luar tubuh ibu, yaitu bila janin berusia di bawah dua puluh minggu atau ketika berat janin kurang lebih 500 gram dan panjang dari puncak kepala ke bokong lebih kurang 18 cm. Umumnya aborsi terjadi pada masa tiga bulan pertama kehamilan. Akan tetapi, pada prinsipnya aborsi mempunyai dua arti yang berbeda, yaitu keguguran kandungan yang tidak disengaja (abortus spontan) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai "keguguran" dan keguguran kandungan yang sengaja dilakukan (abortus provocatus) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai "pengguguran". Biasanya yang kedua istilah inilah yang sering mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat.

Aborsi yang dilakukan dengan sengaja disebabkan oleh dua hal, yaitu aborsi yang dilakukan karena alasan medis yakni untuk keselamatan ibu disebut abortus therapeuticus dan aborsi yang dilakukan karena tidak menginginkan anak, misalnya karena malu anak yang dikandungnya merupakan hasil dari hubungan di luar nikah atau tidak menginginkan terlalu banyak anak karena alasan ekonomi, dan sebagainya disebut abortus criminalis.

Sejak zaman dahulu hingga sekarang terdapat bermacam-macam cara menggugurkan kandungan yang dilakukan manusia seperti meminum ramuan tumbuh-tumbuhan (jamu) baik dengan atau tanpa mantera, pijat, melompat dari tempat yang tinggi, meletakkan sesuatu yang panas di atas perut, menggunakan teknik penyedotan (yang disebut "induksi haid" oleh dr. Suk), pelebaran rongga rahim, kuretase, dan sebagainya. Abortus yang tidak memenuhi persyaratan medis sering menimbulkan komplikasi, perdarahan sampai shock, infeksi, dan dapat mengakibatkan kematian pada ibu hamil yang digugurkan kandungannya.

Awal terjadinya kehamilan

Sebelum membahas mengenai boleh-tidaknya aborsi dilakukan, ada baiknya kita melihat bagaimana awal terjadinya kehamilan dalam perspektif ilmu kedokteran. Ketika terjadi hubungan seksual, kira-kira 200 juta sel sperma (spermatozoa) terpancar dari zakar laki-laki ke lubang vagina perempuan. Sel sperma tersebut -- yang dilindungi oleh cairan semen dari asam yang ada di vagina, berenang dengan ekornya, dan berusaha menembus ke dalam saluran telur melalui uterus (rahim). Dalam empat puluh menit perjalanannya, sebagian besar sel sperma mati. Bila ada satu sel sperma yang bertemu dengan ovum atau sel telur maka terjadilah konsepsi atau pembuahan. Pada saat itu, kepala spermatozoa berusaha masuk ke dalam ovum melalui permukaan luarnya. Jika ada sel sperma yang berhasil masuk, membran ovum berubah sehingga tidak bisa dimasuki oleh sel sperma yang lain. Sel baru yang baru terbentuk tersebut disebut zigot.

Beberapa jam setelah pembuahan, zigot mengalami pembelahan atau mitosis menjadi dua sel baru yang serupa. Kemudian, masing-masing sel membelah diri menjadi dua, empat, delapan, dan seterusnya sampai membentuk bola sel yang disebut morula. Setelah mengalami pembelahan berkali-kali, morula berubah menjadi bulatan berongga yang disebut blastosit. Kemudian, blastosit menanamkan diri ke dalam selaput lendir rahim, dan tumbuh menjadi janin (embrio). Sel yang membelah diri itu kemudian tumbuh berbeda. Sejumlah sel menjadi embrio, dan yang lain membentuk kantung yang mengelilingi embrio yang disebut korion (selaput luar embrio yang berfungsi sebagai selaput pelindung dan pencari makanan) dan amnion (selaput ketuban atau selaput paling dalam yang mengelilingi janin sebelum kelahiran yang berisi cairan).

Dari 46 kromosom dalam diri kita -- 23 di antaranya berasal dari ayah dan 23 lainnya dari ibu, ada dua kromosom yang secara khusus menentukan jenis kelamin individu. Kedua kromosom ini disebut kromosom seks. Dalam diri perempuan, kromosom ini serupa, dan masing-masing disebut kromosom X sehingga kromosom seks dalam diri perempuan disebut XX. Akan tetapi, dalam diri laki-laki hanya ada satu kromosom X dan satu kromosom Y sehingga kromosom seks dalam diri laki-laki disebut XY. Oleh karena itu, seorang ayah bisa mewariskan kromosom X atau Y kepada anaknya, sementara seorang ibu hanya bisa mewariskan satu kromosom X. Sebuah sel sperma yang mengandung kromosom X kebetulan membuahi ovum maka akan terbentuk sel yang mengandung komplemen kromosom 46 + XX, dan bayi yang akan lahir nanti adalah perempuan. Sebaliknya, jika sel sperma yang membuahi itu mengandung kromosom Y, sel yang akan terbentuk mempunyai komplemen kromosom 46 + XY, dan bayi yang akan lahir nanti, insya Allah, laki-laki. Dengan demikian, faktor yang menentukan jenis kelamin bayi adalah jenis sel sperma yang membuahi.

Pengetahuan tentang embriologi (ilmu yang menguraikan tentang pembentukan, pertumbuhan pada tingkat permulaan, dan perkembangan embrio) baru diketahui oleh ilmuwan pada abad ketujuh belas karena penemuannya harus menunggu berbagai kemajuan luar biasa yang berpuncak pada kemampuan manusia untuk melihat kromosom-kromosom (dengan menggunakan mikroskop), dan menyelidiki peran yang dimainkannya. Akan tetapi, empat belas abad yang lampau Alquran secara tidak langsung sudah memberikan rujukan mengenai peranan faktor sperma dalam menentukan jenis kelamin. Alquran menyatakan, "Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? Bukankah ia (pada mulanya) setetes nuthfah (sperma) yang ditumpahkan ke (dalam rahim)? Kemudian menjadi `alaqah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, lalu Allah menciptakan sepasang laki-laki dan perempuan." (Q.S. 75: 36-39). Dalam ayat lain disebutkan, "Dan bahwasannya Dialah yang menciptakan pasangan laki-laki dan perempuan, dari setitik nuthfah apabila dipancarkan." (Q.S. 53: 45-46). Kedua ayat termaktub memberikan gambaran bahwa sperma laki-lakilah yang menentukan jenis kelamin janin laki-laki atau perempuan karena hanya sperma dipancarkan oleh laki-laki ke dalam vagina perempuan.

Ihwal permulaan kehidupan

Dalam perspektif hukum Islam klasik, aborsi masih merupakan kontroversi. Sebagian fukaha (ulama ahli hukum Islam) ada yang berpendapat bahwa melakukan aborsi berdosa kalau dilakukan sesudah masa kehamilan enam belas minggu karena ketika itu Allah sudah meniupkan roh kepada janin,sehingga dia hidup seperti manusia juga. Akan tetapi, kalau aborsi dilakukan sebelum itu, tidak berdosa. Dalil yang digunakan untuk menunjukkan kebolehan aborsi itu sebagai berikut. "Setiap orang di antaramu diciptakan dalam rahim ibunya dari setetes nuthfah selama empat puluh hari, lalu dia menjadi `alaqah selama (kurun) waktu yang sama, kemudian menjadi mudhghah selama kurun waktu yang sama juga, dan kemudian Allah mengutus malaikat datang kepadanya dengan membawa empat perintah. Sang malaikat itu diperintahkan untuk menuliskan rezeki, usia, amal perbuatan, dan akhirnya nasibnya bahagia atau sengsara, lantas meniupkan ruh kepadanya" (H.R. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas`ud). Dalam hadis lain disebutkan, 'Ketika nuthfah telah berusia empat puluh dua hari, Allah mengutus malaikat yang membentuknya, menciptakan pendengaran, penglihatan, kulit, daging, dan tulangnya, lalu bertanya, "Tuhanku, apakah dia laki-laki atau perempuan?" (H.R. Muslim dari Hudzaifah bin Asid).

Kedua hadis di atas mempunyai variasi susunan kata-kata yang berbeda, tergantung kepada siapa yang meriwayatkannya. Tampaknya kebolehan melakukan aborsi berawal dari kedua hadis ini. Sebagian fukaha dulu telah salah memandang ditiupkannya roh sebagai bermakna permulaan kehidupan. Karena perempuan hamil tidak merasakan gerakan sebelumnya, maka janin itu pastilah "belum hidup". Demikianlah data yang dikemukakan oleh embriologi pada zaman mereka. Hadis kedua dijadikan alasan membolehkan aborsi sebelum tujuh minggu masa kehamilan. Itulah waktu kunjungan malaikat yang diperkirakan dalam hadis tersebut, yaitu ketika janin berbentuk sesosok manusia.

Padahal di zaman kita sekarang ini, kita mengetahui bahwa janin sudah hidup sejak awal, tetapi karena ukuran dan anggota badannya kecil, serta banyaknya cairan dalam kantong amniotik di sekitarnya maka sang ibu belum bisa merasakan gerakan-gerakannya. Hadis kedua juga tidak dapat dijadikan alasan kebolehan aborsi sebelum usia tujuh minggu masa kehamilan karena proses pembentukan manusia berawal jauh sebelum itu. Hassan Hathout berpendapat bahwa fase kehidupan seorang manusia yang pantas dikualifikasikan sebagai permulaan kehidupan harus menggabungkan semua kriteria sebagai berikut.

1. Ia harus berupa suatu kejadian yang jelas dan memiliki batasan yang gamblang yang secara aktual bisa disebut sebagai awal-mula kehidupan.

2. Ia harus memperlihatkan ciri utama kehidupan awal, yakni "pertumbuhan".

3. Jika pertumbuhan itu tidak terhambat, secara alami ia akan menuju pada tahap-tahap kehidupan berikutnya seperti fetus, neonatus, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, sampai mati.

4. Ia mengandung gen-gen khas yang dimiliki ras manusia pada umumnya dan juga yang unik dimiliki oleh seorang individu tertentu yang tak ada orang lain benar-benar menyerupainya, sejak zaman azali hingga zaman azali lagi.

5. Ia tidak didahului oleh fase lainnya yang menggabungkan semua karakteristik sebelumnya dari nomor 1 sampai 4.

Dengan menerapkan kriteria termaktub, kehidupan manusia berawal dari berpadunya spermatozoa dengan ovum yang disebut pembuahan atau konsepsi guna membentuk zigot. Zigot inilah yang mengandung 46 kromosom, separuh dari ibu dan separuh lagi dari ayah. Sperma atau ovum yang tidak dibuahi tidak memenuhi kriteria ini sekalipun keduanya hidup karena sel sperma dan ovum hanya memiliki setengah jumlah kromosom manusia, yaitu 23 kromosom. Oleh karena itu, pernyataan Gadis Arivia dalam "Etika Feminis dan Aborsi" menjadi tidak relevan dan terlalu menyederhanakan masalah ketika dia membandingkan terkonsepsinya janin sudah menjadi manusia adalah sama dengan durian sebelum ditanam sudah menjadi pohon durian (Kompas, 8 Oktober 2001). Kehidupan seorang manusia -- kendati masih berbentuk janin -- jauh lebih kompleks dari sekadar biji durian.

Dengan sangat baik, George W. Corner mendeskripsikan, The fertilization of an egg by a sperm is one of the greatest wonders of nature, an event in which magnificently small fragments of animal life are driven by cosmic forces toward their appointed end, the growth of a living being. As a spectacle it can be compared only with an eclipse of the sun or the eruption of a volcano. It is, in fact, the most common and the nearest to us of nature's cataclysms, and yet it is very seldom observed because it occurs in a realm most people never see, the region of microscopic things (Williams Obstetrics, edisi ke-20, 1997, hlm. 96).

Imam al-Ghazali dalam Ihya 'Ulumuddin mengatakan, "Keberadaan (manusia) memiliki tahapan-tahapan. Tahapan pertama adalah penempatan air mani dalam rahim dan campurannya dengan telur wanita. Kemudian siaplah ia menerima kehidupan. Mengusiknya adalah suatu kejahatan. Ketika ia berkembang lebih lanjut dan menjadi suatu gumpalan, menggugurkannya adalah suatu kejahatan yang lebih besar." (Lihat Abul Fadl Mohsin Ebrahim, Aborsi, Kontrasepsi, dan Mengatasi Kemandulan: Isu-Isu Biomedis dalam Perspektif Islam, Mizan, Bandung, 1977, hlm. 113). Apa yang dikatakan oleh al-Ghazali tampaknya sesuai dengan etika kedokteran yang menyatakan bahwa "dokter wajib menghormati kehidupan manusia sejak saat pembuahan" (Deklarasi Jenewa 1948). Pembuahan adalah suatu masa pertemuan antara ovum dan spermatozoa, dan itulah permulaan kehidupan yang tidak teramati, tetapi dapat dirasakan oleh ibu melalui perubahan fisiologis tubuhnya.

Al-Ghazali tampaknya cukup piawai merumuskan bahwa kehidupan janin mulai dalam dua fase, yaitu fase kehidupan tak teramati yang ditandai oleh pertumbuhan diam-diam dan tengah menyiapkan diri untuk menerima roh, yang kemudian disusul oleh kehidupan yang bisa diamati, yang mulai dengan dirasakannya fase cepatnya gerak pertumbuhan oleh sang ibu. Kedua fase ini harus dihormati dan tidak boleh dilanggar. Dengan demikian, pengguguran kandungan adalah suatu bentuk pembunuhan. Padahal, ajaran Islam pada dasarnya sangat menghargai kehidupan manusia. Al-Quran menyebutkan bahwa tindakan seseorang baik positif maupun negatif, berkenaan dengan kehidupan itu selalu mempunyai dampak yang lebih luas yang bisa dirasakan bukan hanya oleh individu pelaku tindakan itu sendiri karena dampak itu akan menyangkut keseluruhan kemanusiaan. Dengan demikian, menghabisi jiwa seseorang bagaikan mengakhiri kehidupan masyarakat dan memelihara jiwa seseorang bagaikan memelihara kehidupan manusia seluruhnya (Q.S. 5: 32).

Anak hasil perzinaan

Untuk menunjukkan betapa Islam sangat menghargai kesucian kehidupan, ada sebuah hadis yang menyebutkan sikap Rasulullah terhadap pengakuan perempuan yang berzina, "Seorang wanita dari Ghamid datang kepada Rasulullah dan berkata, 'Wahai Rasulullah, aku telah berzina. Hukumlah aku'. Tetapi Rasulullah menolaknya. Esok harinya, perempuan itu berkata, 'Wahai Rasulullah, mengapa engkau menolakku? Mungkin engkau menampikku seperti engkau menampik Ma`iz. Demi Allah, aku telah hamil'. Nabi berkata, 'Baiklah jika kamu berkeras, maka pergilah sampai anak itu lahir'. Ketika wanita itu telah melahirkan, dia datang bersama anaknya (yang terbungkus) kain buruk, dan berkata, 'Inilah anak yang telah kulahirkan'. Nabi berkata, 'Pergilah, dan susuilah ia sampai engkau menyapihnya'. Ketika wanita itu sudah menyapih anaknya, dia kembali kepada Nabi dengan membawa anaknya yang sedang memegang sepotong roti. Wanita itu berkata, 'Nabi Allah, inilah dia. Aku telah menyapihnya dan dia memakan makanan biasa sekarang'. Nabi mempercayakan anak itu kepada salah seorang kaum Muslim dan kemudian menetapkan hukuman bagi wanita itu."

Berdasarkan hadis tersebut, para ulama mengatakan bahwa jika seorang perempuan melakukan kejahatan yang ganjarannya adalah hukuman mati, tetapi terbukti perempuan itu sedang hamil maka pelaksanaan hukuman itu harus ditunda sampai dia melahirkan bayinya dan menyempurnakan penyusuannya sampai bayi itu disapih. Inilah pengakuan yang jelas dan gamblang atas hak hidup janin. Ini pun berlaku bagi kehamilan yang terjadi di luar nikah karena janin yang terbentuk di luar ikatan perkawinan juga mempunyai hak hidup. "Setiap bayi dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan suci," demikian menurut sebuah hadis. Lebih-lebih bila kehamilan tersebut berasal dari perkawinan yang sah. Inilah sunah yang dijalankan oleh Nabi dan berlaku tanpa memperhatikan usia kehamilan. Tidak menjadi soal, apakah itu kehamilan dini atau telah mencapai usia empat puluh dua hari lebih. Aturan hukum ini juga sekaligus menjawab segala macam pertanyaan yang berkaitan dengan kewajiban kita untuk melindungi janin sejak awal usia kehamilan. (Lihat Hassan Hathout, Revolusi Seksual Perempuan: Obstetri dan Ginekologi dalam Pandangan Islam, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 61-62). Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau Islam mensejajarkan hak janin dengan hak bayi yang telah lahir dalam pembagian harta peninggalan (waris).

Kapan aborsi dibolehkan?

Salah satu perdebatan sengit mengenai aborsi adalah pertanyaan, "Siapakah yang berhak atas nasib janin dalam kandungan: sang ibukah yang harus tunduk kepada hak janin untuk lahir, ataukah janin yang harus tunduk kepada ibu sebagai pemilik rahim yang mengandungnya?" Tampaknya hampir semua ulama fikih sepakat bahwa jika perempuan yang hamil menderita kondisi medis yang tidak cocok dengan kehamilan serta pandangan medis menyatakan bahwa kelangsungan kehamilan benar-benar bakal mengancam kehidupannya maka aborsi pun diperbolehkan. Fikih berpandangan bahwa ibu adalah akar dan janin adalah cabang. Jika kesehatan mereka berdua tidak bisa diselaraskan, janin mesti dikorbankan guna menyelamatkan nyawa sang ibu. Dalam Ushul Fiqih kita akan menemukan diktum yang menyebutkan, Adh-dharuratu tubihul mahdzurat (keadaan darurat membolehkan hal-hal terlarang), dan Idza ta`radhatul mafsadatani ru�iya a`dzamuhuma dhararan birtikabi akhaffihima (Jika dua keburukan menghadang, maka harus dihindari yang lebih berat bahayanya dengan menempuh yang lebih ringan). Konferensi Islam Rabat memperjelas hukum aborsi dengan menyatakan bahwa hanya ketika nyawa ibu terancam atau tiada harapan bagi kelangsungan kehidupan janin maka aborsi diizinkan. Islam sama sekali tidak memberi peluang kepada pertimbangan hak perempuan untuk menentukan nasib janinnya. Apalagi atas pertimbangan kesehatan yang tidak fatal yang dikehendaki oleh segelintir perempuan.

Akhirnya, semua persoalan yang menyangkut aborsi akan tetap menjadi semacam perdebatan yang tidak berujung-pangkal bila kita tidak menyepakati etika mengenai permulaan kehidupan. ***
Nina Surtiretna, mahasiswa PPDS-Anak Unpad dan dokter tetap di RS Muhammadiyah Bandung. Rachmat Taufiq Hidayat, Direktur Penerbit Kiblat Buku Utama, Bandung.
Sumber www.pikiran-rakyat.com

2 comments:

+_+ said...

Ngeliat gambar yang di publikasikan di atas, asli.... gue miris. Kasian banget. Saat ini, gw ma istri lagi nunggu2 kehadiran seorang baby. Tapi, Tuhan mungkin belum berkenan untuk memberi kepercayaan pada kami.

Henny Kartikasari said...

sy sgt sedih dengar berita aborsi...seorang anak itu berharga, tak pandang bagaimana ia bisa tumbuh dirahim ibunya..jgn biarkan seorang pahlawan gugur sebelum ia terlahir ke dunia ini...jika ga sanggup mengasuh, titip ke panti asuhan, msh bnyk ortu yg bisa mengadopsinya...